Transformasi Sosial Masyarakat Depok
Depok secara geografis merupakan daerah sub urban. Fungsinya secara makro memang menyokong metropolitan Jakarta. Namun secara ideal ia bukan hanya sebagai daerah tinggal para karyawan dan pelaku bisnis di Jakarta (dormitory city). Juga bukan hanya sebagai daerah eksploitasi ekonomi dimana para pelaku bisnis seperti properti dan mega mall (carefour, giant dsb) mempermainkan para target marketnya. Depok tetaplah depok, kota yang mengayomi seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya dalam keseluruhan aspek kehidupan: ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk kehidupan beragama.
Dalam usianya yang relatif muda yakni delapan tahun (Kota Depok berdiri pada 27 April 1999) secara kasat mata boleh jadi Depok dikatakan makmur dengan tingkat penghasilan per kapita sekian bagusnya, ukuran kesehatan sekian mantapnya, dsbnya. Pada kenyataannya ukuran kesejahteraan masyarakat yang digunakan ternyata belum mampu mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat depok. Kriminalitas dan premanisme terjadi di mana-mana dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Depok. Konflik perdata tentang hak milik tanah—yang notabene pihak masyarakat asli selalu jadi korban—masih merupakan masalah klasik selalu terjadi. Sebagaimana pun kehidupan ekonomi. Margonda sama sekali bukanlah ukuran yang tepat yang dapat merepresentasikan kondisi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Depok, justru keberadaan pemusatan ekonomi dan kapitalisasi dengan pendirian mall-mall di margonda menjadi boomerang dengan semakin sulitnya masyarakat asli bersaing. Belum lagi permasalahan sosial seperti kesenjangan masyarakat (kaya miskin, pendatang dan asli, masalah pola dan habbits pendidikan, pola pembentukan norma, pendidikan politik maupun permasalahan tata budaya yang semakin terkikis oleh arus kebudayaan baru.
Tansformasi atau perubahan sosial
Transformasi sosial didefinisikan oleh para ahli sosiologi sebagai perubahan yang terjadi dalam tata kemasyarakatan (society) menyangkut struktur masyarakat. Di dalam perkembangannya, perubahan sosial tak pernah terlepas dari perubahan budaya, karena hakikatnya kedua hal ini saling beririsan. Oleh karena itu, perubahan sosial juga menyangkut perubahan pola budaya. Perubahan sosial merupakan sebuah gejala umum yang terjadi dalam masyarakat yang timbul karena hasrat manusia untuk melakukan perubahan.
Perubahan sosial juga merupakan konsekuensi atas globalisasi dari semua sudut pandang dan faktor. Namun, perubahan sosial tidak selalu terjadi dengan hubungan sebab akibat, karena ada kalanya terjadi kelambatan dala perubahan sosial tersebut. Kelambatan ini disebabkan oleh dampak kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain (masyarakat pendatang). Terlebih lagi jika terdapat perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
Tansformasi atau Perubahan Sosial Depok
Realitas sosial yang ada tersebut menunjukkan adanya keterlambatan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini dimungkinkan terjadi atas kontribusi faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang dimaksud adalah pola asli yang dimiliki oleh masyarakat Depok. Sedangkan faktor ekstern adalah terjadinya dinamika sosial akibat perkembangan yang terjadi secara kekinian. Tariklah contoh ringan: masuknya UI tahun 1991 yang secara langsung diikuti kepindahan mahasiswa. Mahasiswa ini tentunya memerlukan tempat tinggal sementara (indekost) karena sebagian besar dari mereka memiliki batasan dalam jangkauan geografis antara rumah asli orang tua mereka dan kampus. Akibatnya mereka akan membaur dengan masyarakat Depok dan terjadilah interaksi sosial baik secara mikro (individu) ataupun secara makro (kelompok mahasiswa dengan aturan-aturan dalam masyarakat). Interaksi yang terjadi akan membentuk suatu kompromi sosial atau berbentuk asimilasi, bisa jadi hasil ini akan lebih condong kepada aturan lama atau terbentuk aturan baru. Bahkan sangat dimungkinkan terjadi social hazard karena para pendatang ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada.
Namun, inti dari berbagai realitas yang ada adalah ketidakmampuan masyarakat Depok untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada sebagai dampak dari globalisasi. Arus budaya baru sebagai faktor eksternal sepertinya tidak mampu dibendung oleh Depok. Sebagaimana kita dapat melihat perilaku pemuda saat ini yang tidak jauh beda dengan kehidupan pada “lakon film luar negeri”. Semisal, adegan ciuman kini bukan lagi menjadi sebuah hal yang tabu untuk dilakukan di ruang publik. Mari kita bandingkan dengan kondisi dahulu, masyarakat depok yang notabene betawi sebenarnya lebih santun dengan budaya yang islami dan norma-norma yang khas ketimuran.